Thursday 5 April 2012

Agar Kartu Kredit Tidak Berujung Maut

Bagikan Artikel ini :

Mungkin anda masih ingat Nasabah City Bank yang mati terbunuh oleh Debt Collector? Bukan cuma kejadian itu saja pernah terjadi, Selain itu, Muji, juga nyaris buta karena dianiaya oleh Debt Collector Bank. Menkumham, Patrialis Akbar, cuma gara-gara telat bayar kredit Rp 2 juta saja dicaci-maki dan diancam oleh Debt Collector Citibank sehingga sakit hati. Sementara saat Meutia Hafidz disandera di Iraq, ibunya justru diteror Debt Collector Citibank karena Meutia Hafidz tidak bisa membayar cicilan kredit. Bayangkan jika ibunya meninggal karena stroke atau stress akibat teror Debt Collector Citibank?

Pembuka tulisan ini bukan menakut-nakuti Anda untuk tidak mengambil kartu kredit. Tapi ingat bahwa kartu kredit itu sebaiknya digunakan untuk bisnis. Dan bagi anda yang belum punya kartu kredit, segeralah bikin permohonan, karena tak lama lagi Anda lebih sulit lagi mendapatkannya.

Para pemohon kartu kredit harus siap-siap untuk tidak lagi gampang mendapat kartu kredit baru. Bank Indonesia (BI), selaku otoritas yang mengatur perbankan, bersama Asosiasi Penerbit Kartu Kredit Indonesia (AKKI) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sedang menggodok mekanisme pengetatan kepemilikan kartu kredit. Mekanisme yang merupakan revisi Peraturan BI (PBI) Nomor 11 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu Kredit itu dipastikan bakal dirilis pada awal Mei 2011 mendatang.

Pengetatan kepemilikan kartu kredit itu dilakukan menyusul meninggalnya Sekretaris Partai Pemersatu Bangsa, Irzen Octa, pemilik kartu kredit Citibank, di tangan debt collector. Irzen tewas setelah mengurus tagihan utangnya yang macet. Disinyalir, tagihan macet semacam Irzen berawal dari terlalu mudahnya masyarakat mendapat dan “menggesek” kartu kredit. Sehingga memicu kredit macet atau non-performing loan (NPL).

Untuk menghentikan gejala tidak sehat itulah, BI melakukan pengetatan pemberian kartu kredit di beberapa titik. Meskipun belum rinci, menurut Kepala Biro Pengembangan dan Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Aribowo, ada tiga persyaratan yang jadi fokus pengetatan. “Syarat yang akan diatur adalah usia pemegang saham, plafon kredit, dan jumlah pendapatan setiap nasabah,” ungkap Ariwibowo.

Soal usia, dalam PBI Nomor 11 Tahun 2009 tidak diatur batasannya. “Akan kami coba atur apakah akan seperti PBI Tahun 2006 yang membatasi minimal usia pemegang adalah 21 tahun,” ia menambahkan. Pada waktu itu, sempat berubah, kata Aribowo, karena dalam test case, market di Tanah Air sudah dewasa. Namun kenyataannya belum.

Soal plafon, menurut Aribowo, belum ada gambaran seperti apa ketentuannya. Dalam aturan sebelumnya diberlakukan plafon dua kali dari upah minimum regional. Soal pemberian plafon ini tidak akan sembarangan. Bentuknya, misalnya, bisa jadi dua kali pendapatan. “Hal itu belum ditentukan,” ujar Aribowo.

Terkait kepemilikan jumlah kartu kredit, Aribowo menyatakan sedang dalam peninjauan. Apakah nanti diberlakukan pembatasan pemilikan atau tidak. “Kajian dilakukan, apakah cukup memiliki dua kartu atau dibatasi di atas itu,” ia melanjutkan. Namun, menurut Aribowo, bila hal itu dilakukan, akan membawa beberapa konsekuensi. Antara lain terhambatnya perkembangan industri perbankan.

Dalam persoalan kartu kredit ini, BI memilih bersikap hati-hati. Intinya, pengetatan dilakukan agar lebih prudent, jangan sampai membuat industri perbankan justru mandek. Kalau tidak dibatasi, maka kemungkinan dijalankan dengan tambahan syarat.

Industri perbankan sendiri, Aribowo menambahkan, menginginkan agar tidak dilakukan pembatasan kartu. Namun lebih pada pengetatan persyaratan kepemilikan kartu atau dengan pengembangan sistem database. Jika salah satu kartu macet, maka kartu yang lain otomatis tidak bisa dipakai.

Sedangkan soal pengaturan penggunaan jasa layanan pihak ketiga sebagai penagih utang atau debt collector masih dalam pertimbangan BI. “Boleh-tidaknya pemakaian jasa pihak ketiga harus dengan pertimbangan matang,” kata Aribowo. Kalaupun masih diperbolehkan, menurut Aribowo, harus dijalankan dengan syarat yang ketat.

Misalnya, penagihan harus langsung kepada yang bersangkutan, tidak boleh kepada saudara atau orang lain. Selama ini, banyak keluhan dari masyarakat karena sering jadi sasaran penagihan yang salah alamat oleh debt collector. Apalagi datang dengan umpatan kasar dan main fisik. “Kualifikasinya akan kami bicarakan dengan Asosiasi Penerbit Kartu Kredit Indonesia,” ujarnya. Revisi PBI itu dipastikan bakal dirilis pada awal Mei nanti. Selain AKKI, pihak BI juga melibatkan YLKI.

Munculnya sejumlah debt collector yang garang tentu tidak lepas dari ulah debitur kartu kredit yang tidak mau membayar. Untuk itu, BI juga sedang memikirkan sistem apa yang akan dipakai untuk menangani soal ini. Yang jelas, BI telah memiliki daftar positif dan negatif pemilik kartu kredit.

“Misalnya, yang ada pertanda mulai macet akan diberi peringatan. Kalau macet, ia tidak bisa dipakai untuk transaksi,” ungkapnya. Mereka yang menjadi penunggak tidak akan bisa mendapat fasilitas pembiayaan. Ini dilakukan agar tidak membebani industri kartu kredit. Oleh sebab itu, Aribowo menyatakan, sebaiknya pihak yang punya utang tetap melunasi dan menggunakan kartu kredit dengan lebih bijak dan pintar.

Menurut Ketua AKKI, Dodit Wiweko Probojakti, sebenarnya industri kartu kredit sudah berevolusi. “Dulu, sebelum tahun 2006, adalah fase yang terlalu bebas,” katanya. Lalu, dengan PBI Tahun 2006, ada beberapa perubahan, seperti minimum payment naik dari 5% menjadi 10%. Lalu minimum income harus tiga kali UMR dan batas kredit atau limit harus dua kali income.

Namun, pada aturan PBI Tahun 2009, yang dipertahankan hanya minimum payment. Soal minimum income dan batas limit tidak diatur lagi. Pertimbangan hilangnya aturan ini, karena industrinya sudah efektif dan efisien. “Pekan ini, kami ada meeting dengan BI di luar kota untuk membahasnya secara mendalam,” kata Dodit kepada Eri Komar Sinaga dari Gatra.

Menurut Dodit, industri kartu kredit lebih cenderung membenahi standar penagihan agar tidak terjadi ekses yang buruk. Mengenai limit kredit, Dodit melihat penetapannya tidak semudah dengan pembatasan saja. Pasalnya, limit kredit tidak hanya berdasarkan pendapatan, melainkan juga sejarah kredit seseorang di bank selama bertahun-tahun.

Selain itu, kata Dodit, ada faktor kedua yang menjadi pertimbangan, yakni surrogate income. Ini penghasilan alternatif atau penghasilan yang tidak hanya berdasarkan gaji. Misalnya dari deposito, reksa dana, dan tabungan yang bisa di-convert menjadi income. “Dua hal itu harus dijadikan pertimbangan, tidak hanya melulu dari income dalam arti gaji,” tuturnya.

Berdasarkan data per Februari lalu, total pemegang kartu mencapai 5,6 juta orang, dengan jumlah kartu 13,8 juta keping. Jadi, per orang rata-rata memiliki dua kartu. Rasio ini paling rendah dibandingkan dengan negara tetangga. Di Singapura, misalnya, enam sampai tujuh kartu per orang. Namun pemilikan dua kartu per orang itu, menurut Dodit, masih aman dan masuk akal.

Di Indonesia, orang memiliki banyak kartu karena kebutuhan. “Orang mengambil kartu kredit karena benefit yang ditawarkan oleh bank,” ungkap Dodit. Misalnya, ada yang memilih manfaat frequent traveller. Lalu memilih kartu kredit karena ada keuntungan diskon di semua food, resto, dan dining. Juga ada keuntungan lain, seperti healthcare, fitness, dan cicilan 0%. Itu semua tidak ditemukan di negara lain.

Sedangkan menurut pengamat perbankan, Mirza Adityaswara, aturan untuk debt collector tetap perlu dikeluarkan agar keselamatan kreditur terjaga. “Yang baik adalah mencari debt collector yang lihai menagih, tapi tetap menjaga norma,” katanya kepada Ade Faizal Alami dari Gatra. Agar NPL tidak membengkak menjadi puluhan juta, ada baiknya bank sedari awal hati-hati dalam menjaring subscriber dan memberikan limit kredit. Ini mesti dilakukan agar tidak terjadi kredit macet yang berujung maut.


Sumber: Gatra dan sumber lainnya

......

Silahkan Gunakan Facebook Comment, Jika Anda Tidak Memiliki Url Blog!

Comments for blogger! Ingin Kotak Komentar seperti ini? KLIK DISINI!?

0 comments:

Post a Comment